Kamis, 28 November 2013

Berenang Bersama Ikan Keramat di Kuningan

Tak jarang di beberapa tempat objek wisata di Indonesia ada sesuatu yang dikeramatkan. Mulai dari tempatnya sendiri, ataupun sesuatu yang berada di tempat wisata tersebut. Misalnya sebongkah batu, patung atau bahkan binatang seperti seekor ikan. Ya ikan, kenapa ikan bisa dikeramatkan? Apakah ada sesuatu yang istimewa dari ikan tersebut? Menemukan jawabannya tentu kembali kepada cerita yang melatar belakangi keberadaan dari ikan-ikan tersebut. Nah sekarang dimana sajakah anda dapat menemukan ikan-ikan keramat itu berada, dibawah ini ada daftar singkatnya.

1. Objek Wisata Cigugur
Objek wisata Cigugur berada wilayah kaki gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat. Disana terdapat ikan yang bernama Ikan Dewa. Kenapa dinamakan ikan dewa? tidak ada yang tahu kepastiannya, karena ikan itu muncul secara tiba-tiba, tetapi kolam sebagai tempat ikan itu dapat hidup berenang-renang sesuka hatinya mempunyai cerita yang berkaitan erat dengan Sunan Gunung Jati.

Adalah Rama Haji Irengan yang merupakan salah satu murid dari Sunan Gunung Jati, Rama Haji Irengan membuat kolam itu sebagai pertanda bahwa wilayah tersebut telah memeluk agama Islam seperti amanah yang diberikan oleh sang guru.

Ikan Dewa ini konon akan menghilang dengan sendirinya saat air kolam menyusut, tetapi akan muncul kembali apabila air kolam terisi kembali. Entah bersembunyi dimana, tetapi yang pasti masyarakat setempat percaya akan mitos dari keberadaan ikan tersebut. Barang siapa yang berani menangkap atau mengkonsumsi ikan Kancra atau dalam bahasa latin dikenal Labaebarbus Dournensis akan berakibat petaka.

Awalnya kolam ini hanya satu saja, namun semenjak dikelola sebagai objek wisata kolampun dibagi menjadi dua bagian. Salah satu kolam dibagi lagi menjadi tiga bagian dengan kedalaman berbeda dan dapat digunakan pengunjung  untuk berenang.

2. Sumur Tujuh Cibulan
Selain di Cigugur, Ikan Dewa juga bisa ditemui di Sumur Tujuh Cibulan yang terletak di Desa Manis Kidul pinggir jalan raya Kuningan-Cirebon. Mitosnya hampir sama dengan Ikan Dewa di Cigugur, yang mengambil dan memakannya akan celaka nantinya.

Mengenai keberadaan Ikan Dewa di kolam itu masih diselimuti kabut misteri, ada cerita yang mengatakan konon ikan-ikan tersebut  dibawa oleh murid-murid Walisongo saat datang ke Cibulan. Para murid Walisongo juga meninggalkan 7 buah sumur yang mereka gunakan untuk berwudhu pada saat itu dan dipercaya dapat membuat orang tetap awet muda dengan membasuh wajahnya, dengan menggunakan air sumur tersebut. Ada pula yang mengatakan  ikan kancra bodas atau Ikan Dewa itu merupakan mantan pasukan Prabu Siliwangi yang membelot. Nah mana yang benar, hanya Tuhan yang tahu.

3. Gua Ngerong
Itulah tentang Ikan Dewa di Kuningan, lantas di daerah Kabupaten Tuban ada sebuah Gua yang bernama Gua Ngerong yang berada di kecamatan Rengel. Gua ini adalah gua air yang jika kita ingin mangarunginya harus menggunakan perahu karet.

Gua yang panjangnya sampai berkilo-kilo ini di dalamnya terdapat ikan Bader Bang (Puntius Javanicus) sebesar paha berenang-renang yang jumlahnya mencapai ribuan ekor. Mitos ikan ini sama seperti Ikan Dewa di Kuningan, karena barang siapa yang berani memakan atau membawanya pulang akan terjangkiti penyakit yang tak akan pernah sembuh.

Mitos lainnya mengatakan barang siapa yang masuk ke dalam gua maka dia harus keluar 12 jam berikutnya. Mitos-mitos ini dapat di percaya untuk menjaga lingkungan di sekitar gua beserta ikan-ikan dan hewan-hewan lainnya yang berada didalam gua tetap lestari sampai saat ini karena tidak banyak mendapatkan gangguan dari tangan-tangan manusia.

4.Objek Wisata Rambut Monte
Tidak ketinggalan selain di Kuningan, Ikan Dewa yang keramat juga dapat ditemui di Objek Wisata Rambut Monte di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Objek wisata ini terletak sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Blitar. Rambut Monte berada di Desa Krisik, Kecamatan Gandusari.

Kawasan wisata Rambut Monte dibagi menjadi tiga bagian utama, yakni pelataran, areal candi dan telaga yang terdapat Ikan Dewa. Warga setempat biasa menyebutnya dengan nama Ikan Sengkaring, bentuknya seperti Ikan Wader (Labeobarbus siamensis) yang panjangnya sekitar 60 centimeter.

Ikan di telaga itu cukup jinak namun tidak seorangpun yang berani menangkapnya. Kepercayaan masyarakat sekitar mengenai ikan-ikan keramat itu berdasarkan legenda yang beredar sejak dahulu kala. Konon dulu di lokasi ini terjadi perkelahian antara Rahwana dan Naga, melawan Mbah Rambut Monte, keturunan Kerajaan Majapahit.

Pertarungan itu dimenangkan oleh Mbah Rambut Monte. Mbah Rambut Monte kemudian mengutuk Rahwana dan Naga menjadi candi berbentuk monyet dan relief naga. Mbah Rambut Monte berpesan kepada sejumlah muridnya agar menjaga batu candi yang berwujud Rahwana dan relief naga.

Namun karena sebagian muridnya tidak mematuhi perintahnya, Mbah Rambut Monte marah besar dan mengutuk murid-muridnya menjadi Ikan Sengkaring yang hingga saat ini masih mendiami telaga.

IklanAsiN - ProductioN

Legenda Ikan Keramat di Kaki Gunung Ciremai

Kolam Keramat Cigugur terletak sekitar tiga kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Kuningan. Secara geografis, "balong" itu masuk ke wilayah Kelurahan Cigugur. Menurut cerita yang berkembang dan dipercaya oleh masyarakat setempat, sebelum lahir nama Cigugur, tempat itu sering disebut dengan nama Padara. Istilah ini diambil dari nama seorang tokoh masyarakat yaitu Ki Gede Padara, yang memiliki pengaruh besar di desa itu. Konon Ki Gede Padara lahir sebelum Kerajaan Cirebon berdiri.

Menurut perkiraan, tokoh yang menjadi cikal bakal masyarakat Cigugur ini lahir pada abad ke-12 atau ke-13. Pada masa itu, beberapa tokoh yang sezaman dengannya sudah mulai bermunculan, di antaranya Pangeran Pucuk Umun dari Kerajaan Talaga, Pangeran Galuh Cakraningrat dari Kerajaan Galuh, dan Aria Kamuning yang memimpin Kerajaan Kuningan. Berdasarkan garis keturunan, keempat tokoh tersebut masih memiliki hubungan persaudaraan. Namun dalam hal pemerintahan, kepercayaan, dan ajaran yang dianutnya, mereka memiliki perbedaan. Pangeran Pucuk Umun, Pangeran Galuh Cakraningrat, dan Aria Kamuning menganut paham aliran ajaran agama Hindu. Sedangkan Ki Gede Padara tidak menganut salah satu ajaran agama apapun yang ada pada saat itu.

Pada abad ke-14 di Cirebon telah lahir sebuah perguruan yang beraliran dan mengembangkan ajaran agama Islam, tokoh yang mendirikan perguruan tersebut ialah Syech Nurdjati. Selain Syech Nurdjati, Sunan Gunungjati pun memiliki peranan yang sangat besar dalam pengembangan perguruan agama Islam di tanah Caruban itu. Sebagai kuwu pertama di Dusun Cigugur maka diangkatlah Ki Gede Alang-Alang. Hingga wafatnya, beliau dimakamkan di Kompleks Masjid Agung.

Di usia tuanya, Ki Gede Padara punya keinginan untuk segera meninggalkan kehidupan fana. Namun, ia sendiri sangat berharap proses kematiannya seperti layaknya manusia pada umumnya. Berita tersebut terdengar oleh Aria Kamuning, yang kemudian menghadap kepada Syech Syarif Hidayatullah. Atas laporan itu, Syech Syarif Hidayatullah pun langsung melakukan pertemuan dengan Padara. Syech Syarif Hidayatullah merasa kagum dengan ilmu kadigjayaan yang dimiliki oleh Ki Gede Padara.

Dalam pertemuan itu Padara pun kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa. Syech Syarif Hidayatullah meminta agar Ki Gede Padara untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat, sebagai syaratnya. Syarat itupun langsung dipenuhi Ki Gede Padara. Namun, baru satu kalimat yang terucap, Ki Gede Padara sudah sirna. Setelah Ki Gede Padara menghilang, Syech Sarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudhlu. Namun, di sekitar lokasi tersebut sangat sulit ditemukan sepercik air pun. Dengan meminta bantuan Allah SWT, diapun menghadirkan guntur dan halilintar disertai hujan yang langsung membasahi bumi. Dari peristiwa inilah kemudian sebuah kolam tercipta. Namun, masyarakat setempat tidak tahu menahu kapan persisnya kolam tersebut dibangun. Satu hal pasti, kolam tersebut dianggap keramat. Apalagi setelah kolam "ditanami" ikan kancra bodas.

Pengeramatan tersebut juga dilakukan oleh masyarakat terhadap ikan sejenis yang hidup di kolam Darmaloka, Cibulan, Linggarjati, dan Pasawahan. Maksud pengkeramatan terhadap ikan langka tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga dan melestarikannya dari kepunahan akibat ulah manusia. Ada hal aneh yang sampai kini masih terjadi atas ikan-ikan itu: Jumlahnya dari tahun ke tahun tak pernah bertambah ataupun berkurang. Seolah ikan-ikan tersebut tidak pernah mati atau menurunkan generasi dan keturunan. Komunitas ikan kancra bodas ini tak dapat ditemui selain di kolam-kolam keramat yang ada di Kabupaten Kuningan. Keanehan lainnya terlihat dari polah tingkah laku mereka yang sangat akrab dengan manusia. Bila kolam dibersihkan, masyarakat sekitar sering melihat bahwa ikan-ikan yang ada di kolam tersebut menghilang. Mereka percaya bahwa ikan-ikan tersebut berpindah lokasi ke kolam-kolam keramat lainnya yang ada di Kuningan.

IklanAsiN - ProductioN

Eyang Menado Dari Lengkong Kuningan

Hingga tahun 2006, jumlah pahlawan nasional bangsa Indonesia baru 136 orang. Hanya delapan orang yang berasal dari kalangan ulama, 2 orang diantaranya berasal dari Jawa Barat, yaitu K.H. Zaenal Mustofa dari Singaparna (Kabupaten Tasikmalaya) dan K.H. Noer Alie dari Kabupaten Bekasi. Apakah ini berarti ulama kurang berperan dalam perjuangan meraih kemerdekaan?

Agaknya bukan itu penyebabnya, namun peran para ulama, para kiai belum banyak digali para peneliti. Di Jawa Barat, ada banyak kiai, ulama yang berjuang sejak abad ke-19 hingga masa perang kemerdekaan. Dalam menghadapi pengaruh penetrasi Barat satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah melakukan gerakan sosial sebagai bentuk protes sosial. Demikian juga yang terjadi di berbagai tempat di Tatar Sunda, termasuk di Kabupaten Kuningan.

Gerakan sosial yang terjadi di daerah ini dilakukan oleh Kiai Haji Hasan Maolani (1779-1874) dari Desa Lengkong. Masyarakat mengenalnya sebagai "Eyang Menado", karena ia diasingkan ke Menado (meskipun sesungguhnya diasingkan ke Tondano, sebelah selatan Menado), selama 32 tahun hingga meninggal dunia di sana. Sumber-sumber yang memberitakan adanya gerakan ini sangat terbatas. Pertama sekali dilaporkan dalam Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 (Exhibitum, 31 Januari 1851, no. 27). Kemudian disebutkan pula dalam tulisan E. de Waal, yang berjudul Onze Indische Financien, 1876, secara sangat singkat. Selanjutnya diuraikan cukup panjang, dalam Disertasi D.W.J. Drewes, yang berjudul Drie Javaansche Goeroe's (1925).

Baru tahun 1975 A. Tisnawerdaya, menulis biografi ringkas Kiai Hasan Maolani. Hingga sekarang masih ada peninggalan K.H. Hasan Maolani, berupa bangunan rumah panggung berdinding anyaman bambu dan benda-benda milik pribadi. Selain itu, masih ada peninggalan berupa naskah yang ditulis di atas kertas dengan tinta warna hitam dan merah. Naskah berjudul Fathul Qorib, ini ditulis dalam huruf Arab Pegon, berbahasa Jawa campur Sunda. Peninggalan berharga lainnya adalah kumpulan surat-surat yang dikirim Kiai Hasan dari pengasingannya.

K.H. Hasan Maolani dilahirkan pada 1199 Hijriah atau 1779 Masehi di Desa Lengkong, sekarang termasuk Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan. Menurut silsilahnya Kiai Hasan Maolani, memiliki leluhur hingga kepada Sunan Gunung Jati. Ketika Hasan Maolani dilahirkan, Panembahan Dako, seorang Kiai yang makamnya banyak diziarahi orang karena kekeramatannya, mengatakan bahwa anak ini benar-benar cakap dan memiliki "bulu kenabian". Maksudnya, memiliki tanda-tanda akan menjadi ulama. Sejak kecil anak ini dikenal memiliki sifat-sifat yang baik. Hatinya lembut berbudi luhur, sayang kepada sesama makhluk, termasuk binatang dan tumbuhan.

Sejak kecil, Hasan Maolani suka menyepi (uzlah) di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang, setelah dewasa ia sering menyepi di Gunung Ciremai. Hasan mula-mula menimba ilmu di Pesantren Embah Padang. Setelah itu, ia menimba ilmu di Pesantren Kedung Rajagaluh (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin, Cirebon. Selain itu, Hasan masih belajar lagi di beberapa Pesantren lain. Setelah dewasa, Hasan Maolani, belajar tarekat: Satariyah, Qodariyah, Naksabandiyah, dan seterusnya. Namun akhirnya Hasan Maolani menganut tarekat Satariyah.

Sekembali dari berguru di beberapa Pesantren, Hasan Maolani kembali ke desa asalnya di Lengkong dan membuka Pesantren. Sejak ia membuka Pesantren, berduyun-duyun orang yang datang ingin menjadi santrinya. Jumlah santri yang mondok cukup banyak hingga 40 pondok yang disediakan tidak mampu menampungnya. Selain itu, makin hari makin banyak orang datang kepada K.H. Hasan Maolani untuk berbagai keperluan, mulai dari berobat hingga meminta tolong untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Tentu saja dengan adanya orang yang berkumpul setiap hari, dalam jumlah banyak mengundang kecurigaan Pemerintah Kolonial, yang baru saja usai menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830).

Salah satu ajaran Kiai Hasan Maolani, yang penting dan dianggap membahayakan pemerintah kolonial adalah tentang "jihad". Ajaran yang ditulisnya dalam Fathul Qorib mengatakan: "Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri Muslimin atau mereka bertempat yang dekat letaknya dengan negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardlu ain bagi kaum Muslimin. Wajib bagi para ahli negeri itu untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk menolaknya".

Jelas, bahwa Kiai Hasan Maolani memiliki kesadaran bahwa negerinya sedang dijajah. Kesadaran ini disampaikan kepada masyarakat, yang datang maupun yang jauh melalui surat-suratnya. Perang Diponegoro menyisakan pelajaran bagi pemerintah kolonial untuk segera meredam ajaran-ajaran yang dianggap membangkitkan kesadaran rakyat untuk menentang orang kafir (dalam hal ini pemerintah jajahan). Itulah sebabnya, pemerintah kolonial melalui kaki tangannya di Kabupaten Kuningan segera melancarkan tudingan bahwa Kiai Hasan Maolani dituduh menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan syariah, menghasut rakyat untuk melakukan perlawanan. Padahal, ajaran-ajarannya seperti yang disebutkan di atas, tidak ada yang tidak sesuai dengan syariah.

Dalam hal ini, kita bisa menduga apa motif pemerintah kolonial dalam melancarkan tuduhan kepada Kiai Hasan, tidak lain hanya untuk menjatuhkan nama Kiai Hasan di mata masyarakat pribumi dan mencari-cari kesalahannya. Residen Priangan setelah mendapat informasi mengenai surat edaran dan akibat yang ditimbulkannya, segera mengirim surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia, menyampaikan usul agar kerusuhan itu harus diselidiki di Lengkong, Kabupaten Kuningan (Cirebon).

Pengaruh Kiai Hasan Maolani semakin mendalam di kalangan penduduk, bahkan sampai merembet kepada para pemimpin pribumi. Hal ini dijadikan alasan oleh Residen untuk menangkap Kiai Hasan. Residen Priangan menulis surat ke Batavia yang menyatakan bahwa rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Kiai Hasan Maolani daripada kepada Bupati Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Kiai Hasan akan melawan "gubernemen" (pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Kiai Hasan Maolani yang sederhana itu dengan kata-katanya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga dipandang sebagai orang yang mempunyai kekuatan luar biasa dan dilebihkan dari keistimewaan ulama lainnya, sungguh sangat membahayakan masyarakat serta mengganggu ketenteraman jika kepentingan kiai tersebut mendapat angin.

Pada bagian akhir suratnya, Residen Priangan menulis kata-kata "Saya berharap bahwa Paduka Yang Mulia akan mendapat alasan, juga dengan laporan yang telah diberikan oleh para Bupati. Mengenai orang tersebut, untuk mengasingkan Kiai Lengkong dari Pulau Jawa". Melihat gerakan Kiai Hasan Maolani, yang semakin hari dianggap semakin berbahaya, pemerintah kolonial akhirnya mengambil tindakan Kiai Hasan harus ditangkap.

Dalam catatan keluarga, Kiai Hasan Maolani dibawa oleh petugas pemerintah kolonial, pada hari kamis, tanggal 12 Safar 1257 H (1837 Masehi), waktu asar. Dikatakan bahwa kiai akan dibawa menghadap kepada Residen Cirebon untuk dimintai keterangan. Namun ternyata, Kiai Hasan tidak pernah kembali. Ia ditahan di Cirebon. Ternyata setelah berada dalam tahanan di Cirebon, para murid, santri, dan masyarakat umum datang berduyun-duyun setiap hari menjenguk Kiai Hasan Maolani.

Hal ini membuat pemerintah kolonial kewalahan. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memindahkan Kiai Hasan ke Batavia dengan diangkut kapal laut. Di Batavia, Kiai Hasan Maolani tetap saja mendapat kunjungan para murid dan santrinya dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, setelah ditahan selama 9 bulan di Batavia, diambil tindakan lain: Dengan surat keputusan tanggal 6 Juni 1842, Kiai Hasan Maolani diasingkan ke Menado dengan status sebagai tahanan negara.

Kiai Hasan ternyata dibawa terlebih dahulu ke Ternate, dari sini kemudian dibawa ke Kaema. Seratus hari kemudian, ia dipindahkan ke Tondano. Di sini Kiai Hasan tinggal di Kampung Jawa bersama pasukan Kiai Mojo (Panglima Pasukan Diponegoro) yang diasingkan dari Jawa Tengah. Ternyata selama di pengasingan, Kiai Hasan Maolani tidak tinggal diam. Di Kampung Jawa, ia mengajar bekas pasukan Diponegoro yang ingin mendalami agama Islam.

Lama-kelamaan, semakin banyak muridnya, termasuk orang sekitar. Banyak orang yang tadinya non-Islam berhasil di Islamkan. Akhirnya, Kiai Hasan membuka Pesantren, yang dikenal sebagai "Pesantren Rama Kiai Lengkong". Semakin lama namanya tambah terkenal bukan karena kekeramatannya, namun juga karena ajarannya yang mudah dimengerti. Kiai Hasan juga menaruh perhatian besar terhadap pengembangan pertanian dan perikanan sebagaimana dilakukannya di Desa Lengkong dahulu.

Putra kiai yang bernama Mohamad Hakim pernah mengajukan suatu permohonan kepada pemerintah agar ayahnya dikembalikan dari tempat pengasingannya. Namun, Residen Priangan yang dimintai pendapatnya tentang hal ini tetap berpegang pada pendiriannya. Ia tidak mau mengambil risiko dengan mengatakan bahwa seorang yang diasingkan belum tentu akan jera dengan hukuman yang ditimpakan kepadanya. Kemudian keempat orang putranya kembali mengajukan permohonan kepada pemerintah pada bulan Desember 1868, yang isinya menyatakan bahwa ayah mereka yang sudah berusia 90 tahun itu supaya dikembalikan ke tanah Jawa Barat.

Semua permintaan ini ditolak karena Kiai Hasan dianggap terlalu berbahaya meskipun sudah diasingkan, pengaruhnya masih terasa. Para murid, santri, dan rakyat tetap menjalankan anjuran-anjurannya baik dalam beribadah ritual maupun ibadah sosial. Untuk ketiga kalinya, salah seorang putra Kiai Hasan Maolani mengajukan permohonan untuk menengok ayahnya di Menado. Semula Residen Cirebon menolak permohonan itu, tetapi setelah mendapat saran dari Gubernur Jenderal, barulah putra Kiai yang bernama Kiai Absori diizinkan menengoknya ke Menado.

Pada tanggal 29 April 1874 Kiai Hasan Maolani meninggal dunia dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Kiai Mojo di Tondano. Kiai Hasan diasingkan begitu lama, namun namanya tetap melekat di hati rakyat Kuningan. Orang mengenangnya sebagai "Eyang Menado". Makamnya banyak diziarahi orang, baik orang Kuningan maupun masyarakat setempat. Namun, yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana kita memberikan penghargaan atas perjuangannya. Rasanya bukan hanya masyarakat Kuningan yang setuju agar K.H. Hasan Maolani diangkat sebagai pahlawan nasional. Penulis, guru besar ilmu sejarah Universitas Padjadjaran Bandung.

IklanAsiN - ProductioN

Rabu, 27 November 2013

Makam Hasan Maolani di Lengkong Kuningan

Eyang Hasan Maolani dilahirkan di Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan pada 22 Mei 1782. Ia merupakan salah seorang keturunan Kiai Bagus Luqman bin Kiai Syatar Citangtu, keturunan ke-12 Sunan Kali Jaga. Selama hidupnya, Eyang Hasan Maolani terkenal sebagai ulama dan tokoh yang menjadi panutan. Beliaupun dikenal sebagai salah seorang perintis penyebaran agama Islam di Kuningan.

Hingga saat ini, makam dan rumah Eyang Hasan Maolani yang juga berjasa membangun Masjid Al Barokah di Kecamatan Garawangi, banyak dikunjungi warga dari luar daerah Kabupaten Kuningan. Para pengunjung datang untuk berdoa dan ingin tahu tentang sejarah Eyang Hasan Maolani. Mereka pun ingin mengetahui dan mempelajari sejauh mana keberadaan 40 fathul korib tulisan tangan.

Kiai Emon (65), sesepuh Pondok Pesantren Baitul Mutaalli Mi'in Lengkong, keturunan ke-5 ulama Lengkong dari Eyang Hasan Maolani, mengatakan makam dan rumah Eyang Hasan Maolani sudah berusia sekitar 300 tahun. Beliau, kata Emon, meninggal di Kampung Jawa Tondam, Sulawesi Utara (Manado), Rabu Wage pukul 05.00, 12 Rabiulawal 1291 H atau 30 April 1874.

Menurut Emon, Belanda sangat mengkhawatirkan pengaruh Eyang Hasan di Kabupaten Kuningan, terutama dalam penyebaran agama Islam. Eyang Hasan yang menjadi panutan dan di kagumi masyarakat, dikhawatirkan akan mengancam keberadaan Belanda.

Dengan alasan itu, pemerintah Belanda memutuskan membawa Eyang Hasan Maolani ke Cirebon. Setelah itu, beliau dipindahkan ke Jakarta dan selanjutnya dibawa ke Sulawesi Utara. Ketika ditawan di Sulawesi Utara, Eyang Hasan disatukan dengan para prajurit Diponegoro dan Pangeran Mojo.

"Sebelum dibawa ke Manado, beliau menitipkan rambut, jenggot, tongkat, 40 fathul korib tulisan tangan, golok salam nunggal, dan keris. Barang-barang seperti 40 fathul korib tulisan tangan, golok salam nunggal, tongkat dan keris kini masih terjaga. Hanya jenggot dan rambut beliau telah dikubur di sekitar makam beliau", jelas Emon.

Menurut Emon yang merupakan keturunan Eyang Hasan Maolani menyatakan, sebelum wafat di Manado, Eyang Hasan pernah menitipkan rambut dan jenggotnya untuk dikuburkan di Desa Lengkong. "Beliau beranggapan, meski itu rambut dan jenggot, sama saja dengan jasadnya", kata Emon seraya menambahkan. Eyang Hasan Maolani yang beristri Nyai Murtasim binti Kiai Arifah Garawangi telah dikaruniai 11 anak.

IklanAsiN - ProductioN

Asal Usul Palutungan di Kuningan

Tinjauan Eksternal Kecamatan Cigugur
Kecamatan Cigugur merupakan kecamatan dimana Objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri ini berada, sehingga tinjauan tentang kecamatan ini dirasa perlu, karena sangat berpengaruh terhadap keberadaan Objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri ini secara eksternal. Kecamatan Cigugur merupakan kecamatan yang terletak di wilayah Kabupaten Kuningan, Propinsi Jawa Barat. Tepatnya berada di bagian Kuningan Barat. Kecamatan ini berada 5 km dari Kota Kuningan dan 35 km dari Kota Cirebon.
Secara administratif Kecamatan Cigugur mempunyai batasan wilayah dengan:
• Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gunung Keling
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cileuleuy
• Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Majalengka
• Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sukamulya

Tinjauan Internal Desa Cisantana
Desa Cisantana merupakan desa terakhir yang ditemui sebelum mencapai lokasi. Dimana lokasi objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Desa Cisantana. Desa ini berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Secara administratif Desa Cisantana mempunyai batasan wilayah dengan:
• Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gunung Keling
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cileuleuy
• Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Majalengka
• Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cigugur

Tinjauan Internal Objek Wisata Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri
A. Kondisi Fisik dan Geografis
Objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri mempunyai luasan 9 Ha. Untuk bisa sampai ke bumi perkemahan dan Curug Ciputri, calon pengunjung dari Cirebon bisa melewati kota Kuningan yang berada di ketinggian 466 mdpl, menuju Kecamatan Cigugur. Jarak dari Kabupaten Kuningan adalah 5 Km. Kawasan objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri berbatasan dengan:

• Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gunung Keling
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cileuleuy
• Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Majalengka
• Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cigugur

Objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri sendiri merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dimana ketinggian atau bentangan alam mengarah dari bagian selatan ke arah utara.

Iklim di objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri termasuk iklim tropis. Dengan kekayaan vegetasi yang terdapat di dalam dan sekitarnya seperti sayur–mayur dan budi daya sapi perah.

Pengelolaan Objek Wisata Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri
Pengelolaan objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri di pegang secara penuh oleh pemerintah daerah setempat dimana untuk operasional di lapangan dipimpin oleh seorang kepala wisata yang dibantu beberapa orang pegawai dan mitra kerja yang berasal dari penduduk sekitar kawasan.

Perawatan dan penambahan fasilitas wisata dilakukan secara berkala dengan biaya operasional berasal dari tarif masuk pengunjung ke objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri tersebut. Fasilitas penunjang wisata yang ada di objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri belum dapat dikatakan memadai. Akan tetapi dengan fasilitas yang ada telah cukup melayani pengunjung yang datang, dikarenakan fasilitas seperti blok perkemahan, warung, MCK umum, dan lain-lain, merupakan fasilitas penunjang yang dapat dikatakan masih jarang dimiliki oleh objek-objek lain. Walaupun dengan perkembangan pengunjung yang semakin pesat perlu adanya penambahan beberapa fasilitas penunjang yang dapat dipergunakan untuk pelayanan bagi wisatawan yang datang berkunjung.

B. Prasarana dan Sarana
• Prasarana
Prasarana yang telah ada di objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri meliputi jalan beraspal sepanjang 2 km, sisanya masih jalan tanah. Kondisi jalan beraspal di dalam kawasan objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri kondisinya belum baik, dimana beberapa tempat terdapat jalan yang telah rusak. Selain itu jalan beraspal belum mencapai objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri.

Saluran air yang ada merupakan sisa peninggalan penjajah dan kondisinya sudah kurang layak untuk digunakan, sedangkan kebutuhan air bagi objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri masih menggunakan selang yang sistem pengalirannya masih menggunakan tekanan ketinggian. Tempat pembuangan sampah di objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri ini pengadaannya masih belum mendapat pengelolaan secara baik.

• Sarana
Sarana yang telah ada berupa Portal, Rumah Penjaga, Lapangan Parkir, Musholla, MCK, Warung, dan Lokasi Berkemah. Fasilitas penunjang wisata yang ada di objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri belumlah dapat dikatakan memadai. Akan tetapi dengan fasilitas yang ada telah cukup melayani pengunjung yang datang.

Transportasi dan Pola Pencapaian
Angkutan transportasi menuju objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri dilayani oleh dua moda angkutan yakni angkutan desa dan ojek. Angkutan Desa berada di Desa Cigugur dengan biaya menuju objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri sebesar Rp 4000. Pelayanan Ojeg dengan pangkalan berada di Desa Cisantana dengan biaya sebesar Rp 2000.

Identifikasi Potensi Objek Wisata Bumi Perkemahan Palutungan Dan Curug Ciputri
Dengan ketinggian 1100 meter diatas permukaan laut (mdpl) objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri merupakan tempat yang cocok bagi wisatawan yang menginginkan suasana sejuk pegunungan.

Objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri memiliki debit air yang tinggi merupakan sumber daya alam yang tak ternilai harganya dimana para pengunjung dapat menikmati segarnya air pegunungan yang jernih. Bahkan penduduk yang berada di Desa Cisantana menggunakan sumber air tersebut untuk kebutuhan minum, masak, maupun pertanian.

Kondisi lingkungan di objek wisata bumi perkemahan Palutungan dan Curug Ciputri sejauh ini memang belum memprihatinkan akan tetapi melihat kondisi eksisting dimana manajemen persampahan masih kurang baik, ditambah lagi dengan tingkat kesadaran pengunjung akan kelestarian lingkungan masih sangat rendah.
IklanAsiN - ProductioN

Curug Ciputri di Kuningan

Palutungan adalah area perkemahan di kaki Gunung Ciremai terletak di Desa Palutungan, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Tempat wisata ini berada 1.100 meter di atas permukaan laut (mdpl). Ini merupakan salah satu alternatif tempat liburan yang ada di Kuningan. Selain pemandangannya yang indah dan menyejukkan, ada juga sebuah curug yang sering disebut Curug Ciputri. Curug Putri sendiri berasal dari legenda di daerah tersebut sebagai tempat pemandian para putri dari Kahyangan, atau tempat para bidadari turun ke Bumi. Apabila ada hujan gerimis dan matahari bersinar maka dari Curug Putri ini dapat melihat Pelangi atau Katumbiri.

Masyarakat meyakini bahwa ketika pelangi muncul artinya para dewi yang cantik jelita dari kahyangan sedang turun ke bumi. Curug Ciputri memiliki ketinggian mencapai 20 meter dan berasal dari mata air jauh di dalam hutan Gunung Ciremai (3.078 mdpl). Curug ini terletak didalam kawasan Bumi Perkemahan Palutungan dengan ketinggian 1.100–1.150 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan curah hujan 3.000 mm/tahun, dan sejuknya suhu udara antara 20–24 C.

Terletak di Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Propinsi Jawa Barat. Curug ini sering dikunjungi oleh para pengunjung yang menganggap tempat itu perlu didatangi, khususnya bagi mereka yang ingin meminta berkah.  Kesan mistis adanya seorang putri yang menunggu daerah itu membuat banyak pengunjung yang datang dengan berbagai alasan, lebih dari sekadar berwisata.

Ada yang ingin segera dapat jodoh atau pekerjaan setelah membasuh muka atau mandi di bawah curug (air terjun). Dan aktivitas itu akan terasa ketika mendekati bulan puasa atau hari tertentu yang dikeramatkan. Tempat ini juga merupakan salah satu dari tiga jalur pendakian menuju puncak Gunung Ciremai. Meski merupakan jalur terpanjang, pendaki lebih memilih lewat sini karena merupakan rute paling mudah.

Fasilitas Dan Akomodasi

Selain sebagai area camping ground di bumi perkemahan, fasilitas lain yang tersedia adalah tempat parkir, toilet umum, sarana ibadah, warung jajanan, pusat informasi, dan sarana olahraga.  Sayangnya fasilitas tersebut di atas tidak terawat dengan baik. Coretan di dinding batu, atau prasarana umum seperti pos penjagaan dan kamar mandi, banyak terlihat. Daun kering pun berserakan dan menyampah di sekitar area perkemahan.

IklanAsiN - ProductioN

Legenda 9 Buyut

1. Kisah Buyut Jaksa alias Ki Patra Kalasa
Ki Patra Kalasa adalah seorang yang arif dan bijaksana, akibat kearifan dan kebijaksanaannya oleh Kuwu Cirebon sering diminta bantuan untuk menyelesaikan permasalahan konflik yang terjadi di daerah Cirebon seperti musibah angin topan di gebang, masalah rebutan kerbau bule di Bantar Panjang dan masalah–masalah lainnya. Jumlah Jaksa pada saat itu ada 40 Jaksa dan yang di pandang paling adil dalam menangani masalah adalah Jaksa dari Puncak Manik, oleh karena itu dijuluki sebagai Jaksa Agung. Selain itu kesaktian Ki Patra Kalasa yang sangat terkenal adalah membantu Cirebon dalam melawan serangan Belanda yang konon ceritanya Buyut Jaksa Puncak Manik memainkan Pusaka berupa Keris Kecil dari Puncak Manik, tetapi semua musuh Cirebon dapat di hancurkan. Mungkinkah yang dimaksud keris itu adalah golok bercabang? Kesaktian Buyut Jaksa semakin terkenal ke penjuru Dunia, maka suatu saat datanglah 40 orang sakti ke Puncak Manik hendak mengadu ilmu. Namun semuanya lumpuh tak berdaya karena benda pusaka yang mereka miliki menempel terus dengan badannya. Setelah mengaku kalah ke 40 orang sakti tersebut lalu diberikan makan nasi pada satu pendil kecil, ternyata nasi itu tidak dapat dihabiskan walaupun mereka semua kekenyangan.

2. Kisah Buyut Odog
Buyut Odog yang bernama Ki Rangga Jati berasal dari Cipari Kuningan yang berguru kepada Kiyai Jambe Pitu di Puncak Manik. Beliau memiliki kesaktian berupa tenaga yang sangat luar biasa. Suatu ketika Puncak Manik diserang oleh 40 orang sakti dan ke 40 orang tersebut telah dikalahkan oleh Buyut Jaksa, sehabis makan mereka meminta air minum, kebetulan ada pohon Kelapa yang sangat berbuah lebat lalu ditariknya pohon Kelapa tersebut hingga menempel ke tanah dan beramai-ramai ke 40 orang itu memetik kelapa yang sudah melenting sampai ke tanah. Selain itu Buyut Odog di angkat sebagai Panglima Perang oleh Ki Kuwu Cirebon. Lalu Buyut Odog menikah dengan Nyi Mas Centring Manik.

3. Kisah Buyut Prendita
Buyut Prendita  yang bernama  Ki Sanca Manggala memiliki ilmu penerawangan atau ilmu palak, kata orang Jawa weruh sedurung winara. Suatu ketika Buyut Prendita di panggil oleh Kerajaan China untuk mengadu ilmu. Raja China itu memiliki istri 9 dan kesembilan istrinya itu dinikahkan pada waktu dan hari yang berbeda selama 5 hari. Buyut Prendita disuruh menebak hari pernikahannya itu. Berkat kesaktiannya maka Buyut Prendita bisa menebak dengan benar, lalu lahirlah hitungan rapokan hari. Seperti Manis naptu 1 rapokan 4, Pahing naptu 2 rapokan 9, Puhun naptu 3 rapokan 7, Wage naptu 4 rapokan 5 dan Kliwon naptu 6 rapokan 8.

4. Kisah Buyut Pusaka
Buyut Pusaka Puncak Manik yang bertempat di sebelah utara Batu Belah merupakan tempat Padepokan Jambe Pitu. Sampai saat ini tempat itu tidak pernah ditemui oleh orang, menurut beberapa cerita yang penulis himpun bahwa pada suatu waktu ada seorang yang hendak ke tempat itu, namun mereka dihadang oleh ular king kobra yang sangat besar, pada akhirnya mereka lari dan mencari pawang ular yang bisa menangkapnya. Namun semuanya tidak ada yang sanggup menangkap ular tersebut, menurut cerita ular itu adalah jelmaan dari pusaka ampuh yang belum bisa di taklukan orang.

5. Kisah Ki Bodas Talawungan
Ki Bodas Talawungan cenderung berasal dari Cina, karena kulitnya yang putih. Dia dikenal sebagai Ki Bodas Talawungan karena pada saat itu dia bertindak sebagai pelayan Buyut Pusaka alias Kiyai Jambe Pitu. Pekerjaannya sering menjemur jubah Kiyai. Tentang kesaktiannya belum terungkap sampai sekarang.

6. Kisah Pandai Salaka Domas
Ki Pandai Salaka Domas yang dimaksud dalam riwayat ini  bukan Pangeran Panjunan  yang mengarang kitab Joyoboyo tetapi kisah seorang pandai pembuat senjata pusaka. menurut cerita rakyat bahwa Ki Pandai Salaka Domas akhirnya diutus untuk pergi ke negara barat untuk mengajarkan cara mengolah besi di negara barat.

7. Kisah Bah Kuwu Cirebon Girang
Bah Kuwu Cirebon Girang berlokasi di sebelah barat daya Pancuran Emas. Ditempat itu Raden Aria Kemuning dinobatkan sebagai  Adipati Kuningan, Ki Gede Lurah Agung sebagai Lurah di Luragung dan Pengeran Raksa bumi  sebagai Bendahara  dengan gelar Pangeran Kuningan oleh Bah Kuwu Cirebon I (Raden Kian Santang) dan Bah Kuwu Cirebon II (Raden Walang Sungsang  Pangeran Cakrabuana).

8. Kisah Buyut Kalam Jaya
Buyut Kalam jaya memiliki ilmu kesaktian yang dapat berkomunikasi dengan alam gaib, untuk itulah ditempatkan di Cidalem yang sangat terkenal angker serta banyak bangsa dedemitnya.

9. Kisah Pangeran Soli Asih
Pangeran Soli Asih  berasal dari Batu Belah, dikenal Dewi Danuwati yang memiliki kecantikan yang luar biasa dan memiliki sifat kasih sayang yang tinggi. Kisah Batu Belah dan Pangeran Soli Asih mengandung ajaran bahwa kita harus ingat akan faham asal-usul kita lahir ke dunia, yakni dari Sang Ibu. Kita dibesarkan berkat kasih dan sayangnya Ibu, untuk itu janganlah durhaka kepada orang tua.


IklanAsiN - ProductioN

Selasa, 26 November 2013

Makam Buyut Rundasih di Gunung Luhur Kuningan

Gunung Luhur hanya berketinggian 800 Mdpl, tapi di gunung ini tertoreh sejarah perjuangan. Di sinilah para pejuang kemerdekaan dieksekusi penjajah, leher mereka dipenggal dan jasadnya langsung dikubur. Di sini juga terdapat satu makam yang kerap di sowani pejabat penting, yaitu Makam Mbah Buyut Rundasih yang terkadang menebar bau harum. Siapa Rundasih ini? Dan siapa pula pejabat penting yang ngalap berkah di tempat ini?

Di kaki gunung tertinggi di Jawa Barat (Ciremai), terdapat sebuah desa yang dalam perang Kemerdekaan RI memegang peranan penting. Sayang, peranan penting itu tidak tercatat dalam sejarah. Namanya Desa Jambar yang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Nusaherang, Kabupaten Kuningan, Jawa barat. Tokoh-tokoh bangsa yang menjadi saksi peranan penting desa ini antara lain Umar Wirahadikusumah (mantan Wapres RI), Slamun AT, Rukman dan Abimanyu.

Banteng Edan

Menurut cerita salah seorang sesepuh Desa Jambar, Mbah Jaya Madhar, pada masa Kerajaan Kajene masih berdiri, pernah terjadi peristiwa yang sangat menghantui rakyat. Yakni munculnya munding edan (banteng gila) yang entah dari mana asalnya. Kemunculannya membuat para penduduk, terutama petani, terhambat aktivitasnya. Mereka tidak berani keluar rumah karena takut diseruduk banteng gila itu.

Sudah banyak korban akibat kebuasan banteng gila tadi. Karenanya mereka menjadi sangat resah. Setiap keluar rumah, mereka selalu dihantui rasa was-was akan kemunculan munding edan. Pendek kata, masyarakat tidak tenteram. Oleh sebab itulah rakyat beramai-ramai mengadukan persoalan tersebut kehadapan Raja Kajene. Mereka meminta agar Sang Raja mengerahkan prajuritnya untuk menangkap dan memusnahkan munding edan tersebut.

Mendapat laporan dari rakyat, Raja segera mengerahkan para prajurit dan hulubalang untuk menangkap hidup atau mati munding edan tersebut. Setelah pasukan khusus disiapkan, berangkatlah mereka menuju Desa Jambar. Strategi penangkapan terhadap munding edan pun disusun. Perburuan segera dilakukan.

Tapi upaya mengerahkan pasukan khusus Kerajaan Kajene tidak membuahkan hasil. Selain tidak bisa ditebak kapan kemunculannya, ternyata munding edan terlalu perkasa buat mereka. Malah beberapa prajurit menjadi tumbal keganasan munding edan yang memiliki kekuatan tiada tara itu. Akhirnya Raja menarik pasukan dan mengeluarkan sayembara kepada siapa saja yang dapat menangkap hidup atau mati munding edan, maka segala permohonannya akan dikabulkan.

Utusan Sunan

Bersamaan dengan adanya sayembara itu, secara kebetulan datanglah seorang utusan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Keraton Cirebon, yang bernama Rundasih. Utusan ini mendapat tugas menyiarkan agama Islam di wilayah Kuningan sebelah Barat. Namun oleh penduduk setempat, kehadiran Rundasih ditentang, sebab waktu itu Kuningan masih menganut agama Sanghyang.

Saat berada di Desa Jambar, Rundasih mencoba mengambil kesempatan untuk menyelamatkan penduduk dari ancaman munding edan. Rundasih lantas meminta pertolongan Allah SWT, agar dapat mengalahkan munding edan tersebut. Maka dengan ucapan Bismillahirrahmanirrohim, ia berangkat menghadapi munding edan seorang diri. Dengan kesaktian dan pertolongan Allah SWT, Rundasih berhasil mengalahkan munding edan itu sekaligus meringkusnya. "Pertarungan tersebut berlangsung sampai tujuh hari tujuh malam. Si munding lantas di sembelih lalu dagingnya dibagikan kepada penduduk". Tutur Jaya Madhar, sesepuh Desa Jambar.

Atas keberhasilannya itu, rakyat sangat berterima kasih. Raja Kajene pun memanggilnya ke istana. Ketika ditanya apa keinginannya, Rundasih hanya minta agar diberi keleluasan untuk menyebarkan agama Islam dan mendirikan pesantren. Sejak itu, agama Islam pun tersiar di Kuningan dan banyak masyarakat yang tertarik. Rundasih pun menjadi tokoh yang paling disegani dan dihormati. Hingga kini peninggalannya masih tersisa, meski hanya sebuah nama blok Pesantren. Di akhir hayatnya, Rundasih meninggal dan dimakamkan di Blok Pahing Desa Jambar. Sejak saat itu, makamnya dikeramatkan dan sering diziarahi orang.

Disowani Pejabat

Dalam perkembangannya, makam Mbah Buyut Rundasih kerap dijadikan ajang ngalap berkah. Seperti diungkap kuncen Kuningan, Memet Rakhmat DS, Spt, bahwa pada zaman orde baru, Makam Keramat Mbah Buyut Rundasih sering disowani orang-orang dari luar Kabupaten Kuningan, terutama para Pejabat Tinggi Negara. Bahkan pernah ada seorang jutawan yang juga fungsionaris Partai Golkar, ingin membangun makam tersebut sekitar tahun 1995. Namun oleh kuncen Makam Mbah Buyut Rundasih, Jaya Madhar, rencana itu ditolak. Sebab, Mbah Jaya Madhar pernah mendapat wangsit agar makam cukup dipelihara saja, tidak perlu dibuat megah.

Masih menurut wangsit yang diterima Jaya Madhar, alasan lain menolak rencana itu karena tidak lama lagi akan ada pohon beringin besar di kompleks makam yang akan tumbang. Menurut Mbah Jaya Madhar, itu merupakan totonden (isyarat) bahwa partai berlambang pohon beringin tersebut tidak lama lagi akan ambruk. "Tentu saja penolakan dan ocehan Mbah Jaya Madhar itu dicemooh banyak orang. Sebab kala itu Golkar sedang berada dipuncak kejayaan", tutur Memet Rakhmat yang akrab disapa Mang Jasos ini.

Dan ternyata benar saja, tidak berapa lama kemudian, pohon beringin itu benar-benar roboh. Ocehan Mbah Jaya Madhar berdasarkan wangsit tersebut benar adanya. Kini, pohon beringin yang tumbang itu tumbuh lagi, namun telah ditebang, entah oleh siapa. Bahkan anehnya, sesekali dari areal makam Mbah Buyut Rundasih di gunung Luhur, terkadang mengeluarkan bau harum. Makam Mbah Buyut Rundasih pun semakin ramai diziarahi. Mereka umumnya para pejabat penting Negeri ini, yang datang diam-diam.

Siapa pejabat yang sering sowan ke Makam Mbah Buyut? Mang Jasos enggan menyebut nama. "Menyebut namanya memang kurang etis, maklum saja masyarakat kita masih banyak yang belum bisa menerima hal-hal seperti itu", kata Mang Jasos.

IklanAsiN - ProductioN

Sejarah Desa Parakan di Kuningan

Parakan, adalah nama sebuah Desa di Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Desa Parakan ini terletak di bagian tengah Kabupaten Kuningan, berbatasan dengan Desa Kutamandarakan di utara, Desa Cikahuripan di bagian selatan, Desa Padamulya di bagian timur dan Desa Pakembangan di sebelah barat.

Desa Parakan adalah dataran rendah yang di apit oleh dua sungai besar yaitu sungai Cipedak di sebelah selatan dan sungai Cigede di sebelah utara. Di bagian utara desa berdiri gunung-gunung kecil, antara lain Gunung Hideung, Gunung Herang dan Gedogan. Yang dibawahnya terbentang perkebunan, pesawahan parenca dan hawara yang subur. Sedangkan di bagian selatan desa terbentang pula pesawahan dan pasir leutik yang menjadi tempat bercocok tanam masyarakat Desa Parakan.

Asal nama Parakan menurut dari berbagai keterangan, nama Parakan diambil dari kata "Parak" dan kata "Pamarekan". Kata "Parak" dalam bahasa Sunda artinya tempat tirakat / puasa, atau tempat pertapaan. Dan kata "Pamarekan" artinya tempat "Perkumpulan", yakni tempat berkumpulnya para jawara yang terkenal dan memiliki ilmu kadigjayaan untuk bertanding kesaktian (ngadu elmu).

Hal ini dibuktikan dengan adanya 6 Makam Keramat yang sampai saat ini masih banyak diziarahi oleh masyarakat. Seperti Makam Eyang Dukuh, Makam Eyang Depok, Makam Eyang Jatigede, Makam Eyang Cicabe Girang, Makam Eyang Cibening dan Makam Eyang Pasir Pugag. Yang konon makam-makam keramat tersebut masing-masing memiliki beberapa keistimewaan yang dipercaya oleh masyarakat.

Disamping makam-makam tersebut, di Desa Parakan terdapat nama-nama tempat yang sangat mirip dengan nama tempat yang layaknya sebuah pertapaan pada zaman Hindu, seperti Sumur Sijalatunda, Ciparigi (kolam), Gandasoli, Batu Tilu, Cipamuruyan, Depok dan lain-lain.

Sebagaimana dijelaskan Pujangga Menik yang hidup dalam abad ke XV seorang Resi Hindu-Sunda. Dalam karyanya disebutkan bahwa: "Semua religious schools / pertapaan yang disebutkan Pujangga Manik memiliki kelengkapan antara lain: adanya "Beji" atau kolam, telaga, mata air, danau dan lain-lain yang melambangkan Jalatunda.

Jala artinya "air" dan Tunda artinya "yang mencuat dari tanah". Dengan demikian, Parakan adalah sebuah Desa yang dahulunya merupakan tempat tirakat (mensucikan jiwa). Pertapaan para kesatria dan jawara untuk mencari ilmu dan kadigjayaan serta tempat berkumpulnya para kesatria dan jawara untuk mengadu elmu kesaktian.

Sejarah

Dilihat dari jumlah penduduk yang ada sekarang dan garis keturunan yang masih dapat ditelusuri, sepertinya Desa Parakan mulai ditempati oleh penduduk sekitar akhir abad ke 18. Konon menurut cerita bahwa: Parakan dahulu merupakan hutan terpencil yang sepi dan sunyi serta diapit oleh dua sungai yakni Cipedak dan Cigede.

Dari letaknya yang sepi dan sunyi, tempat ini dianggap sangat strategis untuk dijadikan tempat meditasi (bertapa) dengan cara tirakat (berpuasa) dan menjauhkan diri dari keramaian manusia. Sehingga tidak heran apabila tempat ini banyak di datangi oleh para kesatria dan jawara sakti mandraguna untuk bertapa di tempat ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya ajir (tempat patilasan) Eyang Raksajagat yang terletak di Kampung Parakan Girang.

Bukti lain yang menunjukkan bahwa Parakan sebagai tempat pertapaan adalah nama-nama tempat yang ada di Desa Parakan, yang memiliki kesamaan dengan nama tempat-tempat yang berada di padepokan / pertapaan lain di Pulau Jawa seperti, Jalatunda, Ciparigi, Gondosoli, Batu Tilu, Cipamuruyan dan lain-lain. Yang mana tempat ini merupakan tempat yang masih di keramatkan sampai sekarang.

Di Parakan juga diduga pernah berdiri padepokan (perguruan) yang mengajarkan ilmu kadigjayaan dan kesaktian. Dan tentu saja yang mengajarkan ilmu tersebut adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu tinggi. Hal ini dibuktikan dengan di muliakannya Makam orang-orang tertentu yang dianggap sakti dan memiliki nilai keramat oleh sebagian masyarakat Parakan antara lain. Eyang Dukuh, Eyang Depok, Eyang Cicabe Girang, Eyang Cibening, Eyang Pasir Pugag dan Eyang Jatigede.

Dalam masa pendudukan DI TII di Kampung Buah Jenuk terkenal seorang tokoh yang sakti mandraguna yang bernama Abah Jaya, dengan kesaktian yang dimiliki oleh Abah Jaya tersebut Kampung Buah Jenuk yang merupakan tempat tinggal Abah Jaya pernah dibakar oleh gerombolan DI TII.

IklanAsiN - ProductioN

Balong Keramat Darmaloka Kuningan

Balong Keramat Darmaloka adalah tempat terakhir di daerah Kuningan, Jawa Barat, yang kami kunjungi beberapa waktu lalu, beberapa saat setelah meninggalkan lokasi Waduk Darma. Balong Keramat Darmaloka tampak sudah agak sepi ketika kami tiba, mungkin karena saat itu hari sudah beranjak agak sore.

Lokasi Balong Keramat Darmaloka terletak di Desa Darma, Kecamatan Darma, beberapa meter dari tepi jalan Cirebon–Kuningan–Ciamis, masuk melalui sebuah tikungan tajam dan jalan yang menurun sangat curam. Jarak dari Waduk Darma ke Balon Keramat Darmaloka sangat dekat, hanya sekitar 1 km.

Gerbang masuk ke Balong Keramat Darmaloka sangat terlihat unik. Balong Keramat Darmaloka ini konon merupakan sisa peninggalan yang berkaitan dengan kegiatan penyebaran agama Islam pada jaman Walisongo. Di Balong Keramat Darmaloka pengunjung juga bisa menjumpai Ikan Kancra Bodas, meskipun air kolamnya terlihat agak keruh, tidak sebening air Kolam di Cibulan.

Pepohonan hijau rimbun tumbuh subur di dalam lingkungan Balong Keramat Darmaloka, sehingga memberikan suasana teduh dan sejuk di dalam kompleks, selain juga menebar aroma mistis, terutama pada sore hari. Karena jaraknya yang cukup jauh dari tepi jalan raya, suasana di dalam lingkungan Balong Keramat Darmaloka ini cukup hening dan sepertinya sangat sesuai untuk melakukan kegiatan meditasi.

Di dalam kompleks Balong Keramat Darmaloka terdapat beberapa makam dan petilasan yang di keramatkan oleh masyarakat setempat, diantaranya adalah makam Syekh Rama Irengan dan beberapa makam lainnya yang tempatnya terpisah-pisah. Seperti makam Aria Salingsingan, Mbok Bukit, serta makam penari ronggeng Sari Kuning–Sari Kembang. Penduduk setempat percaya bahwa Syekh Rama Haji Irengan telah membuat kolam Keramat Darmaloka hanya dalam waktu semalam.

Kebanyakan orang yang ziarah, pada umumnya mandi di malam jumat kliwon, antara jam 12:00, jam 01:00, sampai jam 03:00 WIB. Di sebuah sumur yang dikelilingi bebatuan, pada malam jumat kliwon kabarnya tempat ini ramai dikunjungi oleh para peziarah yang ingin mengalap berkah. Bahkan ada tempat di ujung kiri Balong Keramat Darmaloka yang digunakan untuk mandi tengah malam, yang konon merupakan tempat pemandian para wali.

Kolam atau balong yang berada di kompleks Balong Keramat Darmaloka ini ada beberapa buah, yang masing-masing disebut dengan nama Balong Ageung, Balong Bangsal, Balong Beunteur, Bale Kambang dan Balong Panyipuhan.

Di Balong Keramat Darmaloka ini terdapat tiga buah mata air, yaitu mata air Balong Beunteur, Cibinuang dan Cilengkeng, yang semuanya berasal dari Situ Sanghiang Telaga.

Mengunjungi Balong Keramat Darmaloka pada sore hari memang terasa agak wingit, meskipun saya tidak mengunjungi makam atau petilasan yang berada di sana. Barangkali karena suasananya yang hening dan sepi, serta banyaknya pepohonan besar yang rimbun di sekeliling kompleks yang konturnya berbukit-bukit ini.

IklanAsiN - ProductioN

Batu Tulis Gambar Naga di Kuningan

Tim arkeolog Masyarakat Arkeologi Indonesia - (MARI) tengah meneliti batu tulis bertatahkan gambar naga di Desa Jabranti, Kuningan, Jawa Barat. "Batu ini mungkin satu-satunya peninggalan berwujud naga di Jawa Barat", kata Arkeolog dari Universitas Indonesia, Ali Akbar, saat dihubungi melalui telepon, 15 Maret 2013.

Batu tulis ini terletak di puncak Gunung Tilu, Dusun Banjaran, Desa Jabranti, Kecamatan Karangkencana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penduduk sekitar telah lama mengetahui keberadaan batu ini, tapi tidak merasa berkepentingan untuk menilik keadaan situs yang terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah ini. Situs ini hanya rutin dikunjungi oleh orang-orang yang bertapa maupun ngalap berkah, mencari pesugihan.

Batu tegak yang berpahat gambar naga tersebut diperkirakan merupakan peninggalan zaman prasejarah. Menurut Ali, batu tegak yang berasal dari batu utuh, sesuai batu aslinya tanpa dibentuk adalah ciri umum peninggalan prasejarah. Tapi, pahatan gambar dalam batu, apalagi bergambar naga, bukan merupakan ciri khas masyarakat prasejarah.

Jadi, dari masa apakah peninggalan ini berasal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut Ali Akbar mempunyai sebuah dugaan. "Ada kemungkinan relief itu dipahat belakangan", kata dia. Susunan batu diperkirakan memang berasal dari masa prasejarah, pada periode tahun 500 SM. Belakangan, ukirannya dibuat oleh manusia dari masa yang berbeda. Ukiran naga diduga berasal dari masa Sunda Kuno di sekitar abad 14-15 masehi.

Peninggalan ini terdiri atas dua batu besar yang tersusun seperti gerbang, menyambut orang yang datang dari arah selatan. Menjelang dan setelah melewati 'gerbang' ini, terdapat banyak batu besar berserakan. Kemungkinan besar terdapat pola tertentu pada susunan batu-batu ini. Sayang, pengamatan belum dapat dilakukan karena kondisi situs tertutup tumbuhan hutan.

"Ada batu bergores yang goresannya membentuk gambar-gambar yang bagus", kata Ali. Saat diperhatikan, gambar tersebut menyerupai bentuk naga. Ali menduga gambar tersebut adalah naga karena digambar setengah badan dan mempunyai jambul di kepala seperti layaknya naga.

"Naga yang terpahat ini sesuai dengan gambaran naga dalam budaya timur karena berwujud ceria", kata dia. Ali Akbar menjelaskan, ada dua macam bentuk naga yang dikenal dalam kebudayaan. Dalam kebudayaan timur, naga adalah lambang kebaikan, sedangkan dalam kebudayaan barat, naga adalah lambang kejahatan yang bengis dan sangat jahat.

Jika gambar itu benar gambar naga, maka batu tulis ini adalah peninggalan pertama berbentuk naga yang ditemukan di Jawa Barat. Berbeda dengan daerah Jawa Timur yang kental pengaruh Hindu, bentuk naga tak pernah dikenal di daerah Jawa Barat.

Naga juga tidak dikenal dalam kebudayaan Sunda kuno. "Budaya Sunda lebih mengenal ular besar sebagai lambang kesuburan dan pembawa berkah", kata Ali. Gambar tersebut dapat juga dilihat sebagai ular besar yang bermahkota, sebab tak ada gambar kaki seperti yang biasa ditemukan pada perwujudan naga.

Pada salah satu batu juga terukir sosok manusia yang berambut gundul. Orang itu memegang ekor naga sambil menyandang senjata. Bentuk senjata tersebut serupa dengan motif yang ditemukan di Candi Sukuh, Jawa Tengah. Ciri ini memperkuat dugaan mengenai umur relief, yang diduga diukir pada masa SUnda Kuno, dimana Majapahit masih berjaya.

Satu sisi batu ini diukir dengan gambar segitiga yang diduga perlambang gunung dan atap rumah. Dua orang digambarkan bercocok tanam, dengan pahatan yang lebih tipis dibanding sebelumnya. "Segitiga ini juga bisa dipakai untuk menggambarkan gunung yang meletus", kata dia.

Menurut penduduk setempat, di tempat setinggi 1300 meter di atas permukaan laut ini juga pernah ditemukan gentong gerabah yang terkubur di dalam tanah. Sayangnya keberadaan temuan itu kini tidak diketahui.

Mengacu pada letaknya di ketinggian, Ali Akbar menduga bahwa pada masa megalitikum tempat ini digunakan untuk tempat pemujaan arwah leluhur. Pada masa Sunda kuno, tempat ini berubah menjadi tempat para resi dan pendeta menyepi untuk melepaskan diri dari agama Hindu dan Budha yang merupakan dua agama utama pada masa itu.

Dia menjelaskan bahwa perjalanan menuju lokasi batu tulis itu sangat tidak mudah. Butuh waktu berkendara selama enam jam dari Jakarta hingga tiba di Kuningan. Dari Kuningan, rombongan menuju Desa Banjaran, pemukiman terakhir di kaki gunung. Dari Desa Banjaran, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki selama tiga hingga lima jam melewati hutan dengan vegetasi lebat. "Banyak semak berduri dan pacet, tidak ada jalan lain", kata Ali.

Ekspedisi Naga Jabranti ini bermula dari laporan masyarakat di website MARI, organisasi yang bertujuan membumikan arkeologi kepada masyarakat luas. "Arkeolog harus curiga jika ada laporan masyarakat mengenai batu tulis atau benda keramat, karena kemungkinan itu adalah peninggalan arkeologi", kata Ali Akbar.

Penelitian masih akan dilanjutkan untuk menyingkap misteri di seputar keberadaan batu ini. Tim arkeolog telah mengambil sampel tanah untuk diteliti di laboratorium. Selanjutnya, eskavasi akan dilakukan untuk melihat apa lagi yang dapat ditemukan di dalam tanah. Arkeolog juga berencana membuat cetakan batu sesuai bentuk aslinya agar peninggalan ini bisa dinikmati masyarakat luas. "Sebab lokasi aslinya sangat sulit dicapai dan rawan longsor", kata Ali.

IklanAsiN - ProductioN