Musibah tidak harus berarti keruntuhan atau
kehancuran, tetapi pada saat itulah awal dari sebuah kebangkitan.
Penegasan itu disampaikan Pastor Paroki Kristus Raja, Cigugur, Kuningan,
Jawa Barat, A. Rutten OSC kepada Mirifica.net, medio Oktober lalu. Sembari menunjuk pada sebuah salib arang sisa-sisa kebakaran bangunan
Gereja Stasi Cisantana.
Pastor kelahiran Negeri Kincir Angin, Belanda yang sangat fasih berbahasa Sunda ini
menjelaskan, musibah yang meratakan bangunan gereja terjadi pada tanggal 4 Juli 1980 akibat ulah seseorang yang tidak dikenal. "Bangunan
yang terbuat dari papan kayu jati dan beratapkan sirap tidak bisa
terselamatkan. Masih tersisa sedikit papan kayu jati dan sebagian lagi
telah menjadi arang. Yang belum terbakar puing-puingnya dirangkai
kembali menjadi altar dan mimbar. Beberapa papan yang sudah menjadi
arang dirangkai menjadi salib arang yang sengaja dipancang berdekatan
dengan altar,” paparnya.
Semua itu, menurut Pastor Rutten, OSC, dimaksudkan sebagai monumen peringatan dalam hidup menggereja umat di Tatar Sunda, khususnya Paroki Kristus Raja, Cigugur, Kuningan. Ada
makna spiritual yang sangat mendalam, bahwa kehancuran bangunan gereja,
ternyata tidak mampu menghancurkan bangunan hidup menggereja yang ada
di dalam hati seluruh umatNya.
Dia wanti-wanti salib arang jangan ditafsirkan macam-macam, apalagi dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang berbau mistis. Bentuk kebangkitan umat Paroki Cigugur berlanjut dengan terwujudnya mimpi untuk membangun tempat peziarahan yang lebih representatif.
Pada tanggal 21 Juli 1990 Kardinal Tomko memberkati Gua Mari Sawer
Rahmat yang kemudian lebih dikenal dengan tempat Ziarah Cisantana,
Kuningan. "Pada kesempatan pemberkatan itu Uskup Bandung,
Mgr. Alexander Djajasiswaja, Pr yang turut mendampingi Kardinal Tomko
berpesan, bahwa tempat ziarah tersebut dibangun untuk seluruh umat
Keuskupan Bandung dan umat Katolik pada umumnya.
Medan Berat
Tempat ziarah Cisantana dalam perkembangannya menjadi salah satu
tujuan ziarah idola umat Katolik dari berbagai kota di Pulau Jawa.
Bahkan sampai sekarang tempat ziarah yang terkenal karena medannya yang terjal,
berbatuan, tetapi alami dan sejuk ini telah dilengkapi penginapan yang
mampu menampung lebih dari 150 orang.
"Pada umumnya para calon peziarah telah menyiapkan jauh-jauh hari
dalam menjalani peziarahan di Cisantana karena medannya mungkin yang
terberat dibandingkan tempat-tempat ziarah yang ada di Pulau Jawa. Nilai
plus lain karena tempat ziarah ini ada di tengah-tengah kantung
masyarakat Sunda sehingga budaya Sunda sangat kental. Bahkan di Stasi
Cisantana Misa Kudus dalam bahasa Sunda diselenggarakan 3 kali dalam
setiap bulannya dan satu kali misa berbahasa Indonesia pada minggu terakhir setiap bulannya", kata Pastor Rutten, OSC.
Dari segi historis
Gua Sawer Rahmat yang terletak di lereng sebelah timur gunung Ciremai
bermakna Sawer dan Rahmat. Sawer dalam bahasa Sunda berarti curahan
(seperti jatuhnya air terjun) dan rahmat berarti rejeki, berkat, karunia, dan wujud cinta kasih Tuhan lainnya kepada umatNya.
Umat setempat menyadari, terwujudnya tempat peziarahan tersebut
tidak dapat dilepaskan dari campur tangan Allah dalam karya keselamatan
yang diwartakan Gereja Kristus Raja, Cigugur, Kuningan. Gua Maria Sawer
Rahmat dijadikan tonggak sejarah gereja setelah 25 tahun mengabdi kepada
umat setempat.
IklanAsiN - ProductioN