Kolam
Keramat Cigugur terletak sekitar tiga kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Kuningan. Secara geografis, "balong" itu masuk ke wilayah Kelurahan
Cigugur. Menurut cerita yang berkembang dan dipercaya oleh masyarakat
setempat, sebelum lahir nama Cigugur, tempat itu sering disebut dengan
nama Padara. Istilah ini diambil dari nama seorang tokoh masyarakat
yaitu Ki Gede Padara, yang memiliki pengaruh besar di desa itu. Konon Ki
Gede Padara lahir sebelum Kerajaan Cirebon berdiri.
Menurut
perkiraan, tokoh yang menjadi cikal bakal masyarakat Cigugur ini lahir pada abad ke-12 atau ke-13. Pada masa itu, beberapa tokoh yang sezaman dengannya sudah mulai bermunculan, di antaranya Pangeran Pucuk Umun dari Kerajaan Talaga, Pangeran Galuh Cakraningrat dari Kerajaan Galuh, dan
Aria Kamuning yang memimpin Kerajaan Kuningan. Berdasarkan garis
keturunan, keempat tokoh tersebut masih memiliki hubungan persaudaraan.
Namun dalam hal pemerintahan, kepercayaan, dan ajaran yang dianutnya,
mereka memiliki perbedaan. Pangeran Pucuk Umun, Pangeran Galuh
Cakraningrat, dan Aria Kamuning menganut paham aliran ajaran agama
Hindu. Sedangkan Ki Gede Padara tidak menganut salah satu ajaran agama apapun yang ada pada saat itu.
Pada abad
ke-14 di Cirebon telah lahir sebuah perguruan yang beraliran dan mengembangkan
ajaran agama Islam, tokoh yang mendirikan
perguruan tersebut ialah Syech Nurdjati. Selain Syech Nurdjati, Sunan
Gunungjati pun memiliki peranan yang sangat besar dalam pengembangan perguruan agama Islam di tanah Caruban itu. Sebagai kuwu
pertama di Dusun Cigugur maka diangkatlah Ki Gede Alang-Alang. Hingga
wafatnya, beliau dimakamkan di Kompleks Masjid Agung.
Di usia tuanya,
Ki Gede Padara punya keinginan untuk segera meninggalkan kehidupan fana.
Namun, ia sendiri sangat berharap proses kematiannya seperti layaknya
manusia pada umumnya. Berita tersebut terdengar oleh Aria Kamuning, yang kemudian menghadap kepada Syech Syarif Hidayatullah. Atas laporan itu,
Syech Syarif Hidayatullah pun langsung melakukan pertemuan dengan
Padara. Syech Syarif Hidayatullah merasa kagum dengan ilmu kadigjayaan
yang dimiliki oleh Ki Gede Padara.
Dalam pertemuan itu Padara pun kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa. Syech Syarif Hidayatullah meminta agar Ki Gede Padara untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat, sebagai syaratnya. Syarat itupun langsung dipenuhi Ki Gede Padara. Namun, baru satu kalimat yang terucap, Ki Gede Padara sudah sirna. Setelah Ki Gede Padara menghilang, Syech Sarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudhlu. Namun, di sekitar lokasi tersebut sangat sulit ditemukan sepercik air pun. Dengan meminta bantuan Allah SWT, diapun menghadirkan guntur dan halilintar disertai hujan yang langsung membasahi bumi. Dari peristiwa inilah kemudian sebuah kolam tercipta. Namun, masyarakat setempat tidak tahu menahu kapan persisnya kolam tersebut dibangun. Satu hal pasti, kolam tersebut dianggap keramat. Apalagi setelah kolam "ditanami" ikan kancra bodas.
Dalam pertemuan itu Padara pun kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa. Syech Syarif Hidayatullah meminta agar Ki Gede Padara untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat, sebagai syaratnya. Syarat itupun langsung dipenuhi Ki Gede Padara. Namun, baru satu kalimat yang terucap, Ki Gede Padara sudah sirna. Setelah Ki Gede Padara menghilang, Syech Sarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudhlu. Namun, di sekitar lokasi tersebut sangat sulit ditemukan sepercik air pun. Dengan meminta bantuan Allah SWT, diapun menghadirkan guntur dan halilintar disertai hujan yang langsung membasahi bumi. Dari peristiwa inilah kemudian sebuah kolam tercipta. Namun, masyarakat setempat tidak tahu menahu kapan persisnya kolam tersebut dibangun. Satu hal pasti, kolam tersebut dianggap keramat. Apalagi setelah kolam "ditanami" ikan kancra bodas.
Pengeramatan
tersebut juga dilakukan oleh masyarakat terhadap ikan sejenis yang
hidup di kolam Darmaloka, Cibulan, Linggarjati, dan Pasawahan. Maksud pengkeramatan terhadap ikan langka tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga dan melestarikannya dari kepunahan akibat ulah manusia. Ada hal aneh yang sampai kini masih terjadi atas ikan-ikan itu: Jumlahnya dari
tahun ke tahun tak pernah bertambah ataupun berkurang. Seolah ikan-ikan
tersebut tidak pernah mati atau menurunkan generasi dan keturunan.
Komunitas ikan kancra bodas ini tak dapat ditemui selain di kolam-kolam
keramat yang ada di Kabupaten Kuningan. Keanehan lainnya terlihat dari
polah tingkah laku mereka yang sangat akrab dengan manusia. Bila kolam
dibersihkan, masyarakat sekitar sering melihat bahwa ikan-ikan yang ada
di kolam tersebut menghilang. Mereka percaya bahwa ikan-ikan tersebut
berpindah lokasi ke kolam-kolam keramat lainnya yang ada di Kuningan.
IklanAsiN - ProductioN