Hingga tahun 2006, jumlah pahlawan nasional bangsa Indonesia baru 136 orang. Hanya delapan orang yang berasal dari kalangan ulama, 2 orang diantaranya berasal dari Jawa Barat,
yaitu K.H. Zaenal Mustofa dari Singaparna (Kabupaten Tasikmalaya) dan
K.H. Noer Alie dari Kabupaten Bekasi. Apakah ini berarti ulama kurang
berperan dalam perjuangan meraih kemerdekaan?
Agaknya bukan itu
penyebabnya, namun peran para ulama, para kiai belum banyak digali para
peneliti. Di Jawa Barat, ada banyak kiai, ulama yang berjuang sejak abad
ke-19 hingga masa perang kemerdekaan. Dalam menghadapi pengaruh
penetrasi Barat satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah melakukan
gerakan sosial sebagai bentuk protes sosial. Demikian juga yang terjadi
di berbagai tempat di Tatar Sunda, termasuk di Kabupaten Kuningan.
Gerakan sosial yang terjadi di daerah ini dilakukan oleh Kiai Haji Hasan
Maolani (1779-1874) dari Desa Lengkong. Masyarakat mengenalnya sebagai "Eyang Menado", karena ia diasingkan ke Menado (meskipun sesungguhnya
diasingkan ke Tondano, sebelah selatan Menado), selama 32 tahun hingga
meninggal dunia di sana. Sumber-sumber yang memberitakan adanya gerakan ini sangat terbatas.
Pertama sekali dilaporkan dalam Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 (Exhibitum, 31 Januari 1851, no. 27). Kemudian
disebutkan pula dalam tulisan E. de Waal, yang berjudul Onze Indische Financien, 1876, secara sangat singkat. Selanjutnya diuraikan cukup panjang, dalam Disertasi D.W.J. Drewes, yang berjudul Drie Javaansche Goeroe's (1925).
Baru tahun 1975 A. Tisnawerdaya, menulis biografi ringkas Kiai Hasan Maolani. Hingga sekarang masih ada peninggalan K.H. Hasan Maolani, berupa bangunan rumah panggung berdinding anyaman bambu dan benda-benda milik pribadi. Selain itu, masih ada peninggalan berupa naskah yang ditulis di atas kertas dengan tinta warna hitam dan merah. Naskah berjudul Fathul Qorib,
ini ditulis dalam huruf Arab Pegon, berbahasa Jawa campur Sunda.
Peninggalan berharga lainnya adalah kumpulan surat-surat yang dikirim
Kiai Hasan dari pengasingannya.
K.H. Hasan Maolani dilahirkan pada 1199
Hijriah atau 1779 Masehi di Desa Lengkong, sekarang termasuk Kecamatan
Garawangi, Kabupaten Kuningan. Menurut silsilahnya Kiai Hasan Maolani,
memiliki leluhur hingga kepada Sunan Gunung Jati. Ketika Hasan Maolani
dilahirkan, Panembahan Dako, seorang Kiai yang makamnya banyak diziarahi
orang karena kekeramatannya, mengatakan bahwa anak ini benar-benar
cakap dan memiliki "bulu kenabian". Maksudnya, memiliki tanda-tanda akan
menjadi ulama. Sejak kecil anak ini dikenal memiliki sifat-sifat yang
baik. Hatinya lembut berbudi luhur, sayang kepada sesama makhluk, termasuk binatang dan tumbuhan.
Sejak kecil, Hasan Maolani suka menyepi (uzlah)
di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang, setelah dewasa ia sering
menyepi di Gunung Ciremai. Hasan mula-mula menimba ilmu di Pesantren
Embah Padang. Setelah itu, ia menimba ilmu di Pesantren Kedung Rajagaluh (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin, Cirebon.
Selain itu, Hasan masih belajar lagi di beberapa Pesantren lain.
Setelah dewasa, Hasan Maolani, belajar tarekat: Satariyah, Qodariyah,
Naksabandiyah, dan seterusnya. Namun akhirnya Hasan Maolani menganut tarekat
Satariyah.
Sekembali dari berguru di beberapa Pesantren, Hasan Maolani
kembali ke desa asalnya di Lengkong dan membuka Pesantren. Sejak ia
membuka Pesantren, berduyun-duyun orang yang datang ingin menjadi
santrinya. Jumlah santri yang mondok cukup banyak hingga 40 pondok yang
disediakan tidak mampu menampungnya. Selain itu, makin hari makin banyak
orang datang kepada K.H. Hasan Maolani untuk berbagai keperluan, mulai
dari berobat hingga meminta tolong untuk menyelesaikan berbagai
persoalan hidup. Tentu saja dengan adanya orang yang berkumpul setiap hari, dalam
jumlah banyak mengundang kecurigaan Pemerintah Kolonial, yang baru saja
usai menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830).
Salah satu ajaran Kiai
Hasan Maolani, yang penting dan dianggap membahayakan pemerintah
kolonial adalah tentang "jihad". Ajaran yang ditulisnya dalam Fathul Qorib mengatakan: "Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri Muslimin
atau mereka bertempat yang dekat letaknya dengan negeri orang Islam,
maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardlu ain
bagi kaum Muslimin. Wajib bagi para ahli negeri itu untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk menolaknya".
Jelas, bahwa Kiai Hasan
Maolani memiliki kesadaran bahwa negerinya sedang dijajah. Kesadaran ini
disampaikan kepada masyarakat, yang datang maupun yang jauh melalui
surat-suratnya. Perang Diponegoro menyisakan pelajaran bagi pemerintah
kolonial untuk segera meredam ajaran-ajaran yang dianggap membangkitkan
kesadaran rakyat untuk menentang orang kafir (dalam hal ini pemerintah
jajahan). Itulah sebabnya, pemerintah kolonial melalui kaki tangannya di
Kabupaten Kuningan segera melancarkan tudingan bahwa Kiai Hasan Maolani
dituduh menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan syariah, menghasut
rakyat untuk melakukan perlawanan. Padahal, ajaran-ajarannya seperti
yang disebutkan di atas, tidak ada yang tidak sesuai dengan syariah.
Dalam hal ini, kita bisa menduga apa motif pemerintah kolonial dalam melancarkan tuduhan kepada Kiai Hasan, tidak lain hanya untuk
menjatuhkan nama Kiai Hasan di mata masyarakat pribumi dan mencari-cari
kesalahannya. Residen Priangan setelah mendapat informasi mengenai surat edaran dan akibat yang ditimbulkannya, segera mengirim surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia, menyampaikan usul agar kerusuhan itu harus diselidiki di Lengkong, Kabupaten Kuningan (Cirebon).
Pengaruh Kiai Hasan Maolani semakin mendalam di kalangan penduduk,
bahkan sampai merembet kepada para pemimpin pribumi. Hal ini dijadikan
alasan oleh Residen untuk menangkap Kiai Hasan. Residen Priangan menulis
surat ke Batavia
yang menyatakan bahwa rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Kiai
Hasan Maolani daripada kepada Bupati Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Kiai Hasan akan melawan "gubernemen" (pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Kiai Hasan Maolani yang
sederhana itu dengan kata-katanya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga
dipandang sebagai orang yang mempunyai kekuatan luar biasa dan
dilebihkan dari keistimewaan ulama lainnya, sungguh sangat membahayakan
masyarakat serta mengganggu ketenteraman jika kepentingan kiai tersebut
mendapat angin.
Pada bagian akhir suratnya, Residen Priangan menulis
kata-kata "Saya berharap bahwa Paduka Yang Mulia akan mendapat alasan,
juga dengan laporan yang telah diberikan oleh para Bupati. Mengenai
orang tersebut, untuk mengasingkan Kiai Lengkong dari Pulau Jawa".
Melihat gerakan Kiai Hasan Maolani, yang semakin hari dianggap semakin
berbahaya, pemerintah kolonial akhirnya mengambil tindakan Kiai Hasan
harus ditangkap.
Dalam catatan keluarga, Kiai Hasan Maolani dibawa oleh
petugas pemerintah kolonial, pada hari kamis, tanggal 12 Safar 1257 H
(1837 Masehi), waktu asar. Dikatakan bahwa kiai akan dibawa menghadap
kepada Residen Cirebon untuk dimintai keterangan. Namun ternyata, Kiai
Hasan tidak pernah kembali. Ia ditahan di Cirebon. Ternyata setelah berada dalam tahanan di Cirebon,
para murid, santri, dan masyarakat umum datang berduyun-duyun setiap hari menjenguk Kiai Hasan Maolani.
Hal ini membuat pemerintah kolonial
kewalahan. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memindahkan Kiai Hasan
ke Batavia
dengan diangkut kapal laut. Di Batavia, Kiai Hasan Maolani tetap saja
mendapat kunjungan para murid dan santrinya dalam jumlah yang
mengkhawatirkan. Oleh karena itu, setelah ditahan selama 9 bulan di Batavia, diambil tindakan lain: Dengan surat keputusan tanggal 6 Juni 1842, Kiai Hasan Maolani diasingkan ke Menado dengan status sebagai tahanan negara.
Kiai Hasan ternyata dibawa
terlebih dahulu ke Ternate, dari sini
kemudian dibawa ke Kaema. Seratus hari kemudian, ia dipindahkan ke
Tondano. Di sini Kiai Hasan tinggal di Kampung Jawa bersama pasukan Kiai
Mojo (Panglima Pasukan Diponegoro) yang diasingkan dari Jawa Tengah.
Ternyata selama di pengasingan, Kiai Hasan Maolani tidak tinggal diam.
Di Kampung Jawa, ia mengajar bekas pasukan Diponegoro yang ingin
mendalami agama Islam.
Lama-kelamaan, semakin banyak muridnya, termasuk
orang sekitar. Banyak orang yang tadinya non-Islam berhasil di Islamkan.
Akhirnya, Kiai Hasan membuka Pesantren, yang dikenal sebagai "Pesantren
Rama Kiai Lengkong". Semakin lama namanya tambah terkenal bukan karena
kekeramatannya, namun juga karena ajarannya yang mudah dimengerti. Kiai
Hasan juga menaruh perhatian besar terhadap pengembangan pertanian dan
perikanan sebagaimana dilakukannya di Desa Lengkong dahulu.
Putra kiai
yang bernama Mohamad Hakim pernah mengajukan suatu permohonan kepada
pemerintah agar ayahnya dikembalikan dari tempat pengasingannya. Namun,
Residen Priangan yang dimintai pendapatnya tentang hal ini tetap
berpegang pada pendiriannya. Ia tidak mau mengambil risiko dengan
mengatakan bahwa seorang yang diasingkan belum tentu akan jera dengan
hukuman yang ditimpakan kepadanya. Kemudian keempat orang putranya
kembali mengajukan permohonan kepada pemerintah pada bulan Desember
1868, yang isinya menyatakan bahwa ayah mereka yang sudah berusia 90
tahun itu supaya dikembalikan ke tanah Jawa Barat.
Semua permintaan ini ditolak
karena Kiai Hasan dianggap terlalu berbahaya meskipun sudah diasingkan,
pengaruhnya masih terasa. Para murid,
santri, dan rakyat tetap menjalankan anjuran-anjurannya baik dalam
beribadah ritual maupun ibadah sosial. Untuk ketiga kalinya, salah
seorang putra Kiai Hasan Maolani mengajukan permohonan untuk menengok
ayahnya di Menado. Semula Residen Cirebon menolak permohonan itu, tetapi
setelah mendapat saran dari Gubernur Jenderal, barulah putra Kiai yang
bernama Kiai Absori diizinkan menengoknya ke Menado.
Pada tanggal 29 April 1874
Kiai Hasan Maolani meninggal dunia dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman
Kiai Mojo di Tondano. Kiai Hasan diasingkan begitu lama, namun namanya
tetap melekat di hati rakyat Kuningan. Orang mengenangnya sebagai "Eyang
Menado". Makamnya banyak diziarahi orang, baik orang Kuningan maupun
masyarakat setempat. Namun, yang perlu dilakukan sekarang adalah
bagaimana kita memberikan penghargaan atas perjuangannya. Rasanya bukan
hanya masyarakat Kuningan yang setuju agar K.H. Hasan Maolani diangkat
sebagai pahlawan nasional. Penulis, guru besar ilmu sejarah Universitas Padjadjaran Bandung.
IklanAsiN - ProductioN