Eyang Hasan Maolani dilahirkan di Desa
Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan pada 22 Mei 1782. Ia
merupakan salah seorang keturunan Kiai Bagus Luqman bin Kiai Syatar
Citangtu, keturunan ke-12 Sunan Kali Jaga. Selama hidupnya, Eyang Hasan
Maolani terkenal sebagai ulama dan tokoh yang menjadi panutan. Beliaupun
dikenal sebagai salah seorang perintis penyebaran agama Islam di
Kuningan.
Hingga saat ini, makam dan rumah Eyang Hasan Maolani yang juga berjasa membangun Masjid Al Barokah di Kecamatan Garawangi, banyak dikunjungi warga dari luar daerah Kabupaten Kuningan. Para pengunjung datang untuk berdoa dan ingin tahu tentang sejarah Eyang Hasan Maolani. Mereka pun ingin mengetahui dan mempelajari sejauh mana keberadaan 40 fathul korib tulisan tangan.
Kiai Emon (65), sesepuh Pondok Pesantren Baitul Mutaalli Mi'in Lengkong, keturunan ke-5 ulama Lengkong dari Eyang Hasan Maolani, mengatakan makam dan rumah Eyang Hasan Maolani sudah berusia sekitar 300 tahun. Beliau, kata Emon, meninggal di Kampung Jawa Tondam, Sulawesi Utara (Manado), Rabu Wage pukul 05.00, 12 Rabiulawal 1291 H atau 30 April 1874.
Menurut Emon, Belanda sangat mengkhawatirkan pengaruh Eyang Hasan di Kabupaten Kuningan, terutama dalam penyebaran agama Islam. Eyang Hasan yang menjadi panutan dan di kagumi masyarakat, dikhawatirkan akan mengancam keberadaan Belanda.
Dengan alasan itu, pemerintah Belanda memutuskan membawa Eyang Hasan Maolani ke Cirebon. Setelah itu, beliau dipindahkan ke Jakarta dan selanjutnya dibawa ke Sulawesi Utara. Ketika ditawan di Sulawesi Utara, Eyang Hasan disatukan dengan para prajurit Diponegoro dan Pangeran Mojo.
"Sebelum dibawa ke Manado, beliau menitipkan rambut, jenggot, tongkat, 40 fathul korib tulisan tangan, golok salam nunggal, dan keris. Barang-barang seperti 40 fathul korib tulisan tangan, golok salam nunggal, tongkat dan keris kini masih terjaga. Hanya jenggot dan rambut beliau telah dikubur di sekitar makam beliau", jelas Emon.
Menurut Emon yang merupakan keturunan Eyang Hasan Maolani menyatakan, sebelum wafat di Manado, Eyang Hasan pernah menitipkan rambut dan jenggotnya untuk dikuburkan di Desa Lengkong. "Beliau beranggapan, meski itu rambut dan jenggot, sama saja dengan jasadnya", kata Emon seraya menambahkan. Eyang Hasan Maolani yang beristri Nyai Murtasim binti Kiai Arifah Garawangi telah dikaruniai 11 anak.
Hingga saat ini, makam dan rumah Eyang Hasan Maolani yang juga berjasa membangun Masjid Al Barokah di Kecamatan Garawangi, banyak dikunjungi warga dari luar daerah Kabupaten Kuningan. Para pengunjung datang untuk berdoa dan ingin tahu tentang sejarah Eyang Hasan Maolani. Mereka pun ingin mengetahui dan mempelajari sejauh mana keberadaan 40 fathul korib tulisan tangan.
Kiai Emon (65), sesepuh Pondok Pesantren Baitul Mutaalli Mi'in Lengkong, keturunan ke-5 ulama Lengkong dari Eyang Hasan Maolani, mengatakan makam dan rumah Eyang Hasan Maolani sudah berusia sekitar 300 tahun. Beliau, kata Emon, meninggal di Kampung Jawa Tondam, Sulawesi Utara (Manado), Rabu Wage pukul 05.00, 12 Rabiulawal 1291 H atau 30 April 1874.
Menurut Emon, Belanda sangat mengkhawatirkan pengaruh Eyang Hasan di Kabupaten Kuningan, terutama dalam penyebaran agama Islam. Eyang Hasan yang menjadi panutan dan di kagumi masyarakat, dikhawatirkan akan mengancam keberadaan Belanda.
Dengan alasan itu, pemerintah Belanda memutuskan membawa Eyang Hasan Maolani ke Cirebon. Setelah itu, beliau dipindahkan ke Jakarta dan selanjutnya dibawa ke Sulawesi Utara. Ketika ditawan di Sulawesi Utara, Eyang Hasan disatukan dengan para prajurit Diponegoro dan Pangeran Mojo.
"Sebelum dibawa ke Manado, beliau menitipkan rambut, jenggot, tongkat, 40 fathul korib tulisan tangan, golok salam nunggal, dan keris. Barang-barang seperti 40 fathul korib tulisan tangan, golok salam nunggal, tongkat dan keris kini masih terjaga. Hanya jenggot dan rambut beliau telah dikubur di sekitar makam beliau", jelas Emon.
Menurut Emon yang merupakan keturunan Eyang Hasan Maolani menyatakan, sebelum wafat di Manado, Eyang Hasan pernah menitipkan rambut dan jenggotnya untuk dikuburkan di Desa Lengkong. "Beliau beranggapan, meski itu rambut dan jenggot, sama saja dengan jasadnya", kata Emon seraya menambahkan. Eyang Hasan Maolani yang beristri Nyai Murtasim binti Kiai Arifah Garawangi telah dikaruniai 11 anak.
IklanAsiN - ProductioN